Jumat, April 12, 2013
NCC JTIW - Onde-onde Ceplis dari Semarang INDONESIA
Makanan kesukaan waktu kecil, bentuk sih bisa macam-macam, ada yang bulat, lonjong, oval, dll, tapi namanya tetap onde-onde ceplis, karena kalau dimakan langsung habis dalam satu suap ... sak ceplis (satu kali), langsung habis, ... Mungkin di lain daerah ada dengan nama berbeda, ya. Jangan bayangkan seperti onde-onde yang ada isi kacang hijau kupas, ini onde tidak ada isinya, garing, cocok buat camilan sambil nonton tv, baca buku, ngeteh rame-rame. Sudah jarang menemukan camilan ini, kalaupun ada, kok rasanya kurang ok ya. Makanya dicoba bikin sendiri. Beruntung ada ibu-ibu Yasaboga, jadi bisa mencoba resepnya.
Meskipun 1 resep adonan mentah sepertinya ga banyak, ternyata waktu membuat bola-bola kecil lama juga, apalagi membalut dengan wijen. Saking takut wijennya akan rontok saat menggoreng, aku tekan-tekan wijen ke tiap bulatan, jadinya lama banget buat nyelesainnya karena bulatan yang kecil-kecil. Mungkin kalau produsen onde ceplis sudah punya trik, jadi prosesnya bisa lebih cepat. Yuk dicoba ...
Onde-onde Ceplis
Yasaboga - Camilan Indonesia
Bahan
250 gr tepung ketan
50 gr tepung sagu
125 ml air
1 sdt garam
75 gr gula pasir
1 1/2 sdt butir telur
75 gr wijen putih
Cara Membuat
1. Campur semua bahan kecuali wijen, uleni hingga bisa dipulung.
2. Bentuk bulat-bulat kecil, gulingkan ke wijen.
3. Goreng dalam minyak panas api sedang
Tips:
- adonan akan mengembang, yang membuat onde ini menjadi renyah, oleh karena itu bikin bulatan kecil-kecil saja agar tidak lama waktu menggoreng, dan bisa tetap renyah.
- sebenarnya cara membuat yang tertera adalah dibulatkan semua baru digulingkan ke wijen. tapi hal ini membuat adonan cepat kering, sehingga wijen tidak menempel baik. Makanya aku pakai cara sendiri.
- tapi kalau mau dibulat-bulatkan semua dulu baru digulingkan ke wijen, bisa kok, saat mau digulingkan ke wijen, percikin sedikit air, agar bola-bola menjadi sedikit lembab, baru digulingkan ke wijen.
Kamis, April 11, 2013
NCC JITW - Es Doger dari Bogor INDONESIA
Perkenalan dengan es doger adalah saat kuliah di Bogor, dimana ada satu sudut kampus yang nama kerennya "DPR" yang merupakan singkatan dari kalimat di bawah pohon rindang tempat nongkrong mahasiswa saat jeda waktu antar mata kuliah, melewatkan waktu dengan tukang jualan minuman botol, gorengan dan es doger. Di antara penjual ini yang paling tenar ya si tukang doger. Hampir tiap ada acara kampus, tukang doger menjadi pengisi acara, menjadi salah satu item menu.
Es Doger sebenarnya simple saja, es puter kampung diberi tape singkong, tape ketan hitam dan dikucuri sirup merah dan susu kental manis. Tapi nano-nano rasanya yang membuat kangen pengen dan pengen lagi. Tapi memang yang bukan penyuka tape, agak susah menikmati minuman ini. Nah, berhubung tidak menemukan resep es doger yang orisinil, resep berikut didasarkan hasil reka ulang masa lalu saja. Selamat menikmati.
Bahan
Es puter rasa kelapa/kopyor
Tape singkong
Tape ketan hitam
Sirup merah
Susu kental manis
Cara Membuat
1. Susun bahan dalam mangkok/cangkir, berturut-turut, tape singkong, tape ketan hitam, es puter.
2. Kucuri dengan sirup merah dan susu kental manis
Selasa, April 02, 2013
NCC JTIW - Pis Kopyor dari Semarang INDONESIA
Jajanan ini menjadi salah satu entry untuk NCC Week Jajanan Tradisional Indonesia, Pis Kopyor dari Semarang.
Kalau denger namanya, orang bisa salah pengertian, tapi ga tahu juga asal usulnya kenapa dinamakan pis kopyor, padahal juga ga pakai kopyor, tapi kelapa muda. Yang bikin paling bertanya2 adalah pake kata 'pis', entah apa artinya.
Kue ini sejenis bongko atau carang gesing dengan bahan berbeda tentu saja. Intinya penggunaan santan, daun pandan dan daun pisang.
Kue jadul ini kesenengan bapak dan eyang, dulu suka banget bikin untuk suguhan beliau-beliau. Apa karena tidak butuh gigi yang kuat untuk menyantap, alias dikunyah sekali langsung bisa ditelan, hehehe ... Apalagi kalo disantap dingin, ... anyes, gurih, lembut, mak glenyer ...
Sekarang banyak yang membuat modifikasi, seperti menambang nangka, kismis, atau bahan lain, tapi aku tetep setia sama resep jadul ini yang menurutku lebih orisinil dan nikmat rasanya. Menurutku justru kesederhanaan kue-kue tradisional lah yang membuat kangen.
Pis Kopyor
Ala Hesti
Bahan
1 butir kelapa muda, keruk panjang dagingnya
2 lbr roti tawar, masing2 potong 10
100 gr gula pasir
500 ml santan
1/2 sdt vanili bubuk
1 sdt garam
2 lbr daun pandan, sobek masing2 menjadi 5 potong
Daun pisang untuk membungkus
Lidi untuk menyemat
Cara Membuat
1. Campur santan, gula, vanili, garam, aduk hingga gula larut.
2. Ambil daun pisang, beri 1 irisan daun pandan, 2 potong roti, kelapa muda, tuang santan. Sematkan lidi. Lakukan hingga adonan habis.
3. Kukus 20 menit sampai matang.
Catatan:
1. Lebih enak dimakan dingin.
2. Jika tidak ada daun pisang, bisa ditaruh di ramekin kecil. Tetapi tidak akan dapat aroma daun pisang.
3. Agar tidak mudah sobek, panaskan sebentar daun pisang dengan panas matahari atau kompor.
Untuk 10 bungkus
Kalau denger namanya, orang bisa salah pengertian, tapi ga tahu juga asal usulnya kenapa dinamakan pis kopyor, padahal juga ga pakai kopyor, tapi kelapa muda. Yang bikin paling bertanya2 adalah pake kata 'pis', entah apa artinya.
Kue ini sejenis bongko atau carang gesing dengan bahan berbeda tentu saja. Intinya penggunaan santan, daun pandan dan daun pisang.
Kue jadul ini kesenengan bapak dan eyang, dulu suka banget bikin untuk suguhan beliau-beliau. Apa karena tidak butuh gigi yang kuat untuk menyantap, alias dikunyah sekali langsung bisa ditelan, hehehe ... Apalagi kalo disantap dingin, ... anyes, gurih, lembut, mak glenyer ...
Sekarang banyak yang membuat modifikasi, seperti menambang nangka, kismis, atau bahan lain, tapi aku tetep setia sama resep jadul ini yang menurutku lebih orisinil dan nikmat rasanya. Menurutku justru kesederhanaan kue-kue tradisional lah yang membuat kangen.
Pis Kopyor
Ala Hesti
Bahan
1 butir kelapa muda, keruk panjang dagingnya
2 lbr roti tawar, masing2 potong 10
100 gr gula pasir
500 ml santan
1/2 sdt vanili bubuk
1 sdt garam
2 lbr daun pandan, sobek masing2 menjadi 5 potong
Daun pisang untuk membungkus
Lidi untuk menyemat
Cara Membuat
1. Campur santan, gula, vanili, garam, aduk hingga gula larut.
2. Ambil daun pisang, beri 1 irisan daun pandan, 2 potong roti, kelapa muda, tuang santan. Sematkan lidi. Lakukan hingga adonan habis.
3. Kukus 20 menit sampai matang.
Catatan:
1. Lebih enak dimakan dingin.
2. Jika tidak ada daun pisang, bisa ditaruh di ramekin kecil. Tetapi tidak akan dapat aroma daun pisang.
3. Agar tidak mudah sobek, panaskan sebentar daun pisang dengan panas matahari atau kompor.
Untuk 10 bungkus
NCC JTIW - Kue Moho dari Semarang INDONESIA
Masih dalam rangka event NCC Jajanan Tradisional INDONESIA, kali ini aku tampilkan kue Moho jajanan khas peranakan Semarang.
Kue moho dipakai dalam Festival Sembahyang Rebutan (Festival Roh yang Kelaparan) di Semarang yang berlangsung 2 hari sampai 1 bulan pada bulan ke-7, digelar di halaman kelenteng untuk menyenangkan para arwah. Berbagai pertunjukan seperti wayang potehi, gambang kromong, keroncong dan orkes tradisional digelar menemani berbagai sajian sembahyang yang terdiri dari berbagai masakan, arak, teh, dan ribuan kue moho, bapao merah, kue mangkuk merah dan pink, buah-buahan, dan manisan buah. (Disarikan dari Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin terbitan Gaya Favorit Press).
Kue ku dan moho yang berwarna merah, sama juga melambangkan persatuan anggota keluarga. Dan warna merah, sesuai dengan legenda untuk menakuti monster yang bernama “Nian” (baca: nien), yang takut warna merah dan suara keras. Legenda ini sudah banyak diceritakan di mana-mana.
Teringat kue moho, teringat kakak saat masa perploncoan masuk kuliah, salah satunya adalah membawa kue moho. Katanya karena sudah jadi mahasiswa (moho-nya siswo - murid yang paling hebat - red) maka harus akrab dengan kue ini, hahaha ... bisa aja itu senior-senior. Kata kakak, kue ini harus dimakan jika berbuat kesalahan, tetapi tidak boleh sambil minum. Kebayang itu mahasiswa sampai melotot-lotot berusaha menelan kue ini karena memang teksturnya padat dan seret. Wkwkwkkwkkkkk ....
Tetapi ga tahu kenapa, aku dulu suka makan kue ini, selain beli di pasar, biasa ada mbok-mbok menggendong tenong (tempat makan dari aluminium bersusun) yang jualan keliling. Kue ini selalu ada selain kue-kue basah, gorengan, dan lauk siap saji lainnya. Suka aja sama penampilan dan rasanya yang khas, jadul dan ga ada duanya itu. Kalo di mbok-mbok itu bentuknya sedikit lebih kecil daripada yg dijual di pasar atau yang buat sembahyangan.
Sehubungan dengan NCCJTW, pengin rasanya mengulang memori itu. Aku udah lupa, dulu alm. ibu bikin seperti apa, catatan juga sudah tidak ada. Hasil browsing, ternyata resep yang beredar versinya seperti kue mangkok atau bolu kukus beras. Padahal seingatku teksturnya seperti roti/bapao tetapi lebih padat dan agak seret. Hihihi ... inget komentar Pak Wisnu di milis, terdapat aroma apek ... hahaha ... Bongkar koleksi majalah dan buku, ketemu resep bu Hiang Marahimin yang menurutku cukup otentik. Maka sampailah aku pada akhir pencarian.
Kue Moho
Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin
Sirup: rebus hingga larut
250 ml air
100 gr gula pasir
Adonan tepung
500 gr tepung terigu
2 sdt garam
2 sdt bp
4 sdt mentega putih
Pewarna merah muda
6 takir daun diameter 8cm tinggi 6cm
Adonan ragi
4 sdt gula pasir
3 sdm air hangat
2 sdt ragi instan
Cara Membuat
1. Adonan ragi: campur gula dan air hingga gula larut, masukkan ragi, aduk. Taruh di tempat hangat 5-10 menit atau hingga berbuih dan ringan.
2. Adonan tepung: ayak terigu, garam, bp, tambahkan mentega, aduk dengan garpu hingga rata dan berbutir kasar, buat lubang di tengah. Campur ragi dan sirup hingga rata. Tuang bertahap ke dalam lubang tepung sambil diaduk dengan tangan hingga adonan kalis.
3. Taruh di atas meja bertabur tepung, uleni hingga licin dan lentur (10 menit). Tutup adonan dengan kain, biarkan di tempat hangat 1-1 1/2 jam atau hingga mengembang 2 kali. Bagi 6 bagian, bentuk bulat.
4. Taruh di takir. Olesi/semprot permukaan atasnya dengan pewarna merah muda, lalu kerat menyilang bagian atasnya. Diamkan 30 menit hingga mengembang 2 kali lipat.
5. Kukus di api besar selama 20 menit.
Kue moho dipakai dalam Festival Sembahyang Rebutan (Festival Roh yang Kelaparan) di Semarang yang berlangsung 2 hari sampai 1 bulan pada bulan ke-7, digelar di halaman kelenteng untuk menyenangkan para arwah. Berbagai pertunjukan seperti wayang potehi, gambang kromong, keroncong dan orkes tradisional digelar menemani berbagai sajian sembahyang yang terdiri dari berbagai masakan, arak, teh, dan ribuan kue moho, bapao merah, kue mangkuk merah dan pink, buah-buahan, dan manisan buah. (Disarikan dari Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin terbitan Gaya Favorit Press).
Kue ku dan moho yang berwarna merah, sama juga melambangkan persatuan anggota keluarga. Dan warna merah, sesuai dengan legenda untuk menakuti monster yang bernama “Nian” (baca: nien), yang takut warna merah dan suara keras. Legenda ini sudah banyak diceritakan di mana-mana.
Teringat kue moho, teringat kakak saat masa perploncoan masuk kuliah, salah satunya adalah membawa kue moho. Katanya karena sudah jadi mahasiswa (moho-nya siswo - murid yang paling hebat - red) maka harus akrab dengan kue ini, hahaha ... bisa aja itu senior-senior. Kata kakak, kue ini harus dimakan jika berbuat kesalahan, tetapi tidak boleh sambil minum. Kebayang itu mahasiswa sampai melotot-lotot berusaha menelan kue ini karena memang teksturnya padat dan seret. Wkwkwkkwkkkkk ....
Tetapi ga tahu kenapa, aku dulu suka makan kue ini, selain beli di pasar, biasa ada mbok-mbok menggendong tenong (tempat makan dari aluminium bersusun) yang jualan keliling. Kue ini selalu ada selain kue-kue basah, gorengan, dan lauk siap saji lainnya. Suka aja sama penampilan dan rasanya yang khas, jadul dan ga ada duanya itu. Kalo di mbok-mbok itu bentuknya sedikit lebih kecil daripada yg dijual di pasar atau yang buat sembahyangan.
Sehubungan dengan NCCJTW, pengin rasanya mengulang memori itu. Aku udah lupa, dulu alm. ibu bikin seperti apa, catatan juga sudah tidak ada. Hasil browsing, ternyata resep yang beredar versinya seperti kue mangkok atau bolu kukus beras. Padahal seingatku teksturnya seperti roti/bapao tetapi lebih padat dan agak seret. Hihihi ... inget komentar Pak Wisnu di milis, terdapat aroma apek ... hahaha ... Bongkar koleksi majalah dan buku, ketemu resep bu Hiang Marahimin yang menurutku cukup otentik. Maka sampailah aku pada akhir pencarian.
Kue Moho
Buku Seri Masak Femina - Masakan Peranakan Tionghoa Semarang karangan Hiang Marahimin
Sirup: rebus hingga larut
250 ml air
100 gr gula pasir
Adonan tepung
500 gr tepung terigu
2 sdt garam
2 sdt bp
4 sdt mentega putih
Pewarna merah muda
6 takir daun diameter 8cm tinggi 6cm
Adonan ragi
4 sdt gula pasir
3 sdm air hangat
2 sdt ragi instan
Cara Membuat
1. Adonan ragi: campur gula dan air hingga gula larut, masukkan ragi, aduk. Taruh di tempat hangat 5-10 menit atau hingga berbuih dan ringan.
2. Adonan tepung: ayak terigu, garam, bp, tambahkan mentega, aduk dengan garpu hingga rata dan berbutir kasar, buat lubang di tengah. Campur ragi dan sirup hingga rata. Tuang bertahap ke dalam lubang tepung sambil diaduk dengan tangan hingga adonan kalis.
3. Taruh di atas meja bertabur tepung, uleni hingga licin dan lentur (10 menit). Tutup adonan dengan kain, biarkan di tempat hangat 1-1 1/2 jam atau hingga mengembang 2 kali. Bagi 6 bagian, bentuk bulat.
4. Taruh di takir. Olesi/semprot permukaan atasnya dengan pewarna merah muda, lalu kerat menyilang bagian atasnya. Diamkan 30 menit hingga mengembang 2 kali lipat.
5. Kukus di api besar selama 20 menit.
NCC JTIW - Es Gempol Pleret dari Semarang INDONESIA
Dalam rangka NCC Week dengan tema Jajanan Tradisional INDONESIA, aku persembahkan Es Gempol Pleret dari Semarang. Semoga bisa membuat jajanan tradisional INDONESIA makin jaya.
Minuman yang sudah hampir punah di Semarang, rata-rata kaum muda sudah tidak kenal dengan minuman ini. Minuman ini sangat segar dinikmati saat siang yang panas, bahkan untuk sore dan malam hari di kota Semarang yang memang lebih banyak panas di banding kota lain.
Ingat es gempol pleret, inget almarhum bapak. Bapak sangat suka es ini, langganannya di pasar Bergota, yang jualan seorang ibu yang memang cuma jualan es ini di deretan depan los pasar yang menghadap ke jalan raya. Aku perhatiin, ibu ini setia banget jualan sampai terakhir aku beli yaitu waktu terakhir mudik beberapa saat sebelum almarhun ibu dipanggil Allah. Sekarang udah sepuh banget, rambutnya udah putih semua, di pasar itu cuma dia sendiri yang jualan es gempol pleret. Di simpang lima ada juga sih yang jualan, tetapi kurang legit rasanya.
Es gempol adalah minuman dingin berisi beberapa gempol yaitu bulatan sebesar bakso kecil dari tepung beras berwarna putih, dengan rasa cenderung gurih karena hanya diberi garam dan beberapa pleret, yaitu adonan tepung ketan yang berbentuk pipih, biasanya berwarna pink dan hijau. Pipih karena adonan tadi dipleret (ditekan - bhs jawa) ke daun pisang saat membuatnya sebelum dikukus untuk mematangkannya, jadi bentuknya cenderung tipis kayak lembaran-lembaran. Pleret rasanya kenyal dan manis. Kuahnya kuah gurih santan encer yang harum pandan, diberi sirop merah jadul (bikinan sendiri) beraroma frambozen dan pecahan es batu. Jadi saat diaduk, kuah akan menjadi bersemu pink. Biasa disajikan di mangkuk seperti mangkuk bakso (yang ada gambar ayam jago atau penyedap Sasa, hehehe ...). Porsinya cukup banyak, apalagi kalau dibungkus untuk dibawa pulang, biasanya saat dituang bisa lebih dari satu mangkuk. Si ibu waktu menyajikan akan bertanya, "komplit ?" Artinya pakai gempol + pleret. Kalau aku pasti akan bilang komplit, karena tanpa pleret, bukan es gempol pleret namanya.
Sewaktu browsing resep, kebanyakan adalah es gempol versi Jepara yang hanya pakai bulatan putih tepung beras tanpa pleret, dan kuahnya santan yang diberi gula merah jadi berwarna coklat dan diberi potongan nangka. Berbeda dengan es gempol pleret Semarang selama ini yang kukenal, makanya aku coba bikin dengan resep kira-kira aja, setidaknya mewakili rasa nostalgia yang masih aku miliki.
Es Gempol Pleret
Ala Hesti
Bahan gempol:
200 gr tepung beras
25 gr tepung sagu
1/2 sdt garam
75 ml air panas
Air untuk merebus
Bahan pleret:
100 gr tepung ketan
50 ml santan kental dari 1 butir kelapa
25 gr gula pasir
1/4 sdt garam
100 ml air panas
Pasta pandan
Pasta strawberry
Pelengkap
Sirup frambozen
Es batu, hancurkan
Kuah Santan:
250 ml santan kental
750 ml air
1/2 sdt garam
2 lbr daun pandan, simpulkan
Cara Membuat:
Adonan gempol:
1. Kukus tepung beras selama 30 menit, angkat.
2. Campurkan tepung beras, tepung sagu dan air panas, uleni hingga kalis.
3. Bulatkan adonan sebesar kelereng, tekan bagian tengah dengan ibu jari hingga membentuk cekungan.
4. Masukkan dalam air mendidih, rebus adonan hingga mengapung, angkat. Sisihkan.
Pleret
1. Campur tepung ketan, gula, garam dan air panas, aduk rata.
2. Bagi menjadi 2 bagian, masing-masing beri pasta pandan dan pasta strawberry.
3. Tuang adonan pandan tipis-tipis diatas daun pisang, begitu juga untuk adonan strawberry, kukus 30 menit. Angkat, sisihkan
Kuah santan:
Panaskan santan, air, garam dan daun pandan, aduk rata, masak hingga mendidih. Dinginkan.
Penyajian:
Dalam mangkuk, susun gempol, pleret pandan dan pleret strawberry, tuangi kuah santan, beri sirup frambozen dan es batu. Sajikan.
Untuk 5 mangkuk.
Note:
- pasta pandan bisa diganti perasan air daun suji
- sirup frambozen bisa dibuat sendiri dengan merebus gula dan air dengan diberi perasa frambozen dan warna merah.
- ternyata aku kesulitan mem-pleret adonan, akhirnya aku taruh di wadah, dikukus, baru diiris tipis, hehehe ...
Minuman yang sudah hampir punah di Semarang, rata-rata kaum muda sudah tidak kenal dengan minuman ini. Minuman ini sangat segar dinikmati saat siang yang panas, bahkan untuk sore dan malam hari di kota Semarang yang memang lebih banyak panas di banding kota lain.
Ingat es gempol pleret, inget almarhum bapak. Bapak sangat suka es ini, langganannya di pasar Bergota, yang jualan seorang ibu yang memang cuma jualan es ini di deretan depan los pasar yang menghadap ke jalan raya. Aku perhatiin, ibu ini setia banget jualan sampai terakhir aku beli yaitu waktu terakhir mudik beberapa saat sebelum almarhun ibu dipanggil Allah. Sekarang udah sepuh banget, rambutnya udah putih semua, di pasar itu cuma dia sendiri yang jualan es gempol pleret. Di simpang lima ada juga sih yang jualan, tetapi kurang legit rasanya.
Es gempol adalah minuman dingin berisi beberapa gempol yaitu bulatan sebesar bakso kecil dari tepung beras berwarna putih, dengan rasa cenderung gurih karena hanya diberi garam dan beberapa pleret, yaitu adonan tepung ketan yang berbentuk pipih, biasanya berwarna pink dan hijau. Pipih karena adonan tadi dipleret (ditekan - bhs jawa) ke daun pisang saat membuatnya sebelum dikukus untuk mematangkannya, jadi bentuknya cenderung tipis kayak lembaran-lembaran. Pleret rasanya kenyal dan manis. Kuahnya kuah gurih santan encer yang harum pandan, diberi sirop merah jadul (bikinan sendiri) beraroma frambozen dan pecahan es batu. Jadi saat diaduk, kuah akan menjadi bersemu pink. Biasa disajikan di mangkuk seperti mangkuk bakso (yang ada gambar ayam jago atau penyedap Sasa, hehehe ...). Porsinya cukup banyak, apalagi kalau dibungkus untuk dibawa pulang, biasanya saat dituang bisa lebih dari satu mangkuk. Si ibu waktu menyajikan akan bertanya, "komplit ?" Artinya pakai gempol + pleret. Kalau aku pasti akan bilang komplit, karena tanpa pleret, bukan es gempol pleret namanya.
Sewaktu browsing resep, kebanyakan adalah es gempol versi Jepara yang hanya pakai bulatan putih tepung beras tanpa pleret, dan kuahnya santan yang diberi gula merah jadi berwarna coklat dan diberi potongan nangka. Berbeda dengan es gempol pleret Semarang selama ini yang kukenal, makanya aku coba bikin dengan resep kira-kira aja, setidaknya mewakili rasa nostalgia yang masih aku miliki.
Es Gempol Pleret
Ala Hesti
Bahan gempol:
200 gr tepung beras
25 gr tepung sagu
1/2 sdt garam
75 ml air panas
Air untuk merebus
Bahan pleret:
100 gr tepung ketan
50 ml santan kental dari 1 butir kelapa
25 gr gula pasir
1/4 sdt garam
100 ml air panas
Pasta pandan
Pasta strawberry
Pelengkap
Sirup frambozen
Es batu, hancurkan
Kuah Santan:
250 ml santan kental
750 ml air
1/2 sdt garam
2 lbr daun pandan, simpulkan
Cara Membuat:
Adonan gempol:
1. Kukus tepung beras selama 30 menit, angkat.
2. Campurkan tepung beras, tepung sagu dan air panas, uleni hingga kalis.
3. Bulatkan adonan sebesar kelereng, tekan bagian tengah dengan ibu jari hingga membentuk cekungan.
4. Masukkan dalam air mendidih, rebus adonan hingga mengapung, angkat. Sisihkan.
Pleret
1. Campur tepung ketan, gula, garam dan air panas, aduk rata.
2. Bagi menjadi 2 bagian, masing-masing beri pasta pandan dan pasta strawberry.
3. Tuang adonan pandan tipis-tipis diatas daun pisang, begitu juga untuk adonan strawberry, kukus 30 menit. Angkat, sisihkan
Kuah santan:
Panaskan santan, air, garam dan daun pandan, aduk rata, masak hingga mendidih. Dinginkan.
Penyajian:
Dalam mangkuk, susun gempol, pleret pandan dan pleret strawberry, tuangi kuah santan, beri sirup frambozen dan es batu. Sajikan.
Untuk 5 mangkuk.
Note:
- pasta pandan bisa diganti perasan air daun suji
- sirup frambozen bisa dibuat sendiri dengan merebus gula dan air dengan diberi perasa frambozen dan warna merah.
- ternyata aku kesulitan mem-pleret adonan, akhirnya aku taruh di wadah, dikukus, baru diiris tipis, hehehe ...
Langganan:
Postingan (Atom)